4a Jimat dan Pertanda (1)

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 4.

Tauhid Rububiyah telah didefiniskan sebagai pengakuan bahwa Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta di dalam segala interaksi antara makhluk dengan Allah. Penciptaan, pemeliharaan, dan bahkan penghancuran dari alam semesta berada di dalam perintah Allah, dan semua nasib baik dan juga nasib buruk juga terjadi karena kehendak Allah. Namun, manusia sejak zaman dahulu sampai sekarang terus bertanya: “Apakah ada cara untuk mengetahui nasib baik dan nasib buruk sebelum tiba waktunya?”. Sebab jika hal tersebut sudah diketahui sebelumnya, maka nasib buruk bisa dihindari atau kesuksesan seseorang juga dapat terjamin. Sejak zaman purbakala, beberapa orang tertentu telah melakukan klaim-klaim palsu bahwa mereka mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Dan sejak zaman dahulu pula, orang-orang semacam itu memiliki pelanggan yang bersedia membayar sedemikian banyak untuk mendapatkan informasi tentang masa depan. Dan metode-metode untuk mengubah nasib buruk menjadi nasib baik pun telah lama dikenal, yang akhirnya membentuk jimat-jimat yang dapat kita temui di seluruh dunia di seluruh zaman. Selain itu bentuk-bentuk peramalan akan masa depan juga telah menjadi praktik umum, sehingga banyak yang mencoba menghindari kesialan dengan cara tersebut. Dan mereka selalu memberikan klaim bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipelajari dan hanya diwariskan turun temurun dalam bentuk ilmu ramalan maupun sihir. Sehingga pemahaman akan Islam yang utuh menjadi sangat penting untuk menghindari praktik semacam ini. Karena yang terpenting, praktik semacam ini dapat membuat pelakunya jatuh kepada kesyirikan. Kita juga telah mengetahui bahwasanya praktik ramalan semacam ini sangat bertentangan dengan keesaan sifat Allah dan juga menggiring kepada penyembahan berhala. Sehingga kita perlu menjabarkan lebih lanjut bagaimanakah posisi jimat dan juga pertanda-pertanda dari sudut pandang Al-Quran dan juga sunnah.

Jimat

Menggunakan gelang, kalung, cincin, rantai, dan manik-manik untuk jimat pengusir kesialan dan pembawa keberuntungan merupakan praktik yang umum dilakukan oleh masyarakat Arab pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Praktik penggunaan jimat juga dapat ditemui di seluruh permukaan bumi ini. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kepercayaan bahwa jimat dapat membawa keberuntungan dan menolak bala merupakan sesuatu yang kontradiktif dengan keimanan kita kepada Rububiyah Allah dengan menyandarkan sifat Allah kepada makhluk (benda, jimat). Islam menolak praktik semacam ini yang juga muncul pada zaman Rasulullah sebagai dasar bahwa praktik serupa yang muncul sampai akhir zaman juga perlu ditolak. Kepercayaan semacam ini menjadi ideologi dasar bagi penyembahan berhala. Praktik semacam ini dapat dengan mudah kita lihat dari kaum Katolik yang menuhankan Nabi Isa dan Ibunya, Maria dan para santo juga disembah, sehingga gambar dan patung mereka disimpan dengan tujuan pembawa keberuntungan.

Ketika orang-orang masuk Islam pada zaman Rasulullah, mereka sering membawa kepercayaan kepada dimat yang dalam bahasa arab dikenal sebagai tamaa’im. Sehingga kita banyak menemui pernyataan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang terlarangnya praktik semacam itu.

Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah [1] (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” [2]

Karena itu, penggunaan gelang ataupun cincin yang digunakan oleh orang sakit dengan kepercayaan bahwa gelang dan cincin itu dapat membawa kesehatan, maka itu terlarang. Praktik ini juga jatuh dalam larangan yang diberikan oleh Rasulullah:

Sembuhkanlah penyakit kalian, namun janganlah menyembuhkannya dengan hal-hal yang haram [3]

Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu,

Dahulu kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain [4]. Sedangkan pada saat itu kami masih baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam, pent). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di sisinya dan mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Dzatu Anwath. Tatkala kami melewati pohon itu kami berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath [5] (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Subhaanallah![6] Inilah kebiasaan itu! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telag mengatakan sesuatu sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Isra’il kepada Musa: Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan. Musa berkata:

…اجْعَل لَّنَا إِلَـٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ…

Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.” (QS. al-A’raaf: 138). Kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.”[7]

Dalam hadits ini, Rasulullah tidak hanya menolak konsep jimat, namun juga mengabarkan bahwa nantinya kaum Muslim akan meniru tindakan Nasrani dan Yahudi. Sebagai contoh, tasbih yang digunakan untuk menghitung dzikir meniru rosario dari kaum Katolik, Maulid (perayaan ulang tahun Rasulullah) meniru hari natal, dan kepercayaan bahwa di antara kaum Muslim ada wali yang dapat memberi syafaat, sebagaimana yang dimiliki para santo di Kristen. Pengabaran Rasulullah itu telah terjadi!

Rasulullah juga menekankan betapa bahayanya penggunaan jimat ini. Uqbah bin Amir meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa menggantungkan jimat, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya dan barangsiapa menggantungkan wada’ah (penangkal penyakit) semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.”[8]

Para sahabat mengikuti perintah yang berkaitan dengan jimat ini. Sehingga ada begitu banyak kisah para sahabat yang menentang praktik yang dilakukan baik dalam keluarganya maupun lingkungannya. ‘Urwah meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat, Hudzaifah Radhiyallaahu ‘anhu menjenguk orang sakit dan ternyata orang tersebut sedang mengenakan gelang di lengan atasnya, beliau mengambilnya dan menghancurkannya. Hudzaifah kemudian membaca:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّـهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (Yusuf: 106) [9]

Di kesempatan yang lain, beliau menyentuh lengan bagian atas dari seseorang yang sakit dan menemukan khayt (gelang dari tali) yang melingkarinya. Ketika beliau bertanya apa maksud dari benda itu, maka laki-laki itu menjawab: “Itu adalah sesuatu yang mengandung jampi-jampi yang dibuat khusus untukku”. Hudzaifah memintanya untuk melepas gelang itu, seraya berkata: “Jika engkau mati dalam keadaan mengenakan gelang itu, maka aku tidak akan menyolatkanmu!” [10]

Istri dari Abdullah Ibnu Mas’ud, Zainab, diriwayatkan pernah menggunakan kalung di lehernya, dan Abdullah menanyakan apakah benda itu. Kemudian Zainab menjawab: “Ini tali yang berisi mantera untuk menolongku”. Kemudian Abdullah Ibnu Mas’ud melepasnya dari lehernya, kemudian mengatakan: “Sesungguhnya keluarga Abdullah tidak memerlukan syirik! Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, mantera dan jimat adalah syirik” Zainab menjawab: “Kenapa kamu mengatakan hal itu? Mataku dulu sangat sering berkedut, kemudian aku bertemu dengan seorang Yahudi, dia membacakan mantera pada kalung itu, dan mataku berhenti berkedut!” Ibnu mas’ud menjawab: “Sesungguhnya itu hanyalah tipu daya setan sehingga bisa menyihirmu. Seharusnya cukupkanlah dirimu dengan ucapan:

أذهب البأس رب الناس اشف أنت الشافي لا شفاء إلا شفاؤك شفاء لا يغادر سقماً

Adzhibil ba-sa Rabban naas, isyfi antasy Syafi, laa syifaa-a illa syifa-uk, syifaa-un laa yughadiru saqaman

“Hilangkanlah penyakit ini wahai Rabb sekalian manusia. Sembuhkanlah, sesungguhnya Engkau Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan lagi rasa sakit..”[11]

Sikap terhadap Jimat

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, larangan terhadap jimat tidak hanya dikhususkan kepada bentuk-bentuk yang ada pada zaman Arab jahiliyah. Namun di manapun bentuk jimat tersebut diterapkan, maka larangan tersebut juga berlaku. Penggunaan berbagai macam jimat juga banyak tersebar di kaum barat di tengah canggihnya perkembangan teknologi di sana. Ada begitu banyak jimat yang diterapkan dalam kehiduapn sehari-hari mereka. Dan jika diamati, ada begitu banyak bentuk kesyirikan yang terjadi dalam penggunaan jimat tersebut. Contoh dari penggunaan jimat di dunia modern ini misalnya:

a. Kaki kelinci

Di dunia barat, kaki kelinci ataupun replika emas dan perak dari kaki kelinci sering digunakan sebagai gantungan ataupun kalung sebagai jimat pembawa keberuntungan. Asal muasal kepercayaan ini adalah kebiasaan kelinci yang sering menjejakkan kaki belakangnya ke tanah. Menurut kepercayaan kuno, kelinci tersebut berkomunikasi dengan arwah-arwah yang ada di dalam tanah ketika menjejakkan kaki ke tanah. Sehingga penyimpanan kaki tersebut dianggap sebagai penyampai keinginan mereka kepada arwah-arwah yang akan membawa keberuntungan bagi mereka.

b. Tapal kuda

Banyak rumah yang ada di Amerka memiliki tapal kuda digantung di pintu-pintu mereka. Versi miniaturnya juga digunakan sebagai kalung jimat, gantungan kunci, ataupun gelang, dengan kepercayaan bahwa itu dapat membawa keberuntungan. Asal dari kepercayaan ini dapat ditemukan dalam legenda Yunani. Di zaman Yunani kuno, kuda dianggap sebagai hewan yang suci. Apabila tapal kuda digantung di atas pintu rumah, maka hal itu dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Namun mereka percaya bahwa ujung dari tapal kuda tersebut harus menghadap ke atas. Jika ujungnya menghadap ke bawah, maka keberuntungan tersebut akan hilang.

Kepercayaan terhadap jimat bahwa jimat dapat memberikan keberuntungan atau kesialan sama saja menyandarkan sifat Allah terhadap makhluk. Dan ini merupakan syirik terhadap Rububiyah Allah. Bahkan sama saja mereka menganggap bahwa jimat tersebut memiliki kekuatan yang melampaui Allah karena mendahului kehendak Allah. Karena itu, kepercayaan akan jimat itu sama saja dengan syirik. Aturan ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh sekitar sepuluh orang kemudian beliau membaiat sembilan dari mereka dan menahan satu orang, lalu mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan dan engkau sisakan satu orang ini?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya orang ini memakai jimat”. Kemudian orang ini memasukkan tanggannya, lalu ia putuskan jimatnya kemudian Nabi membaiatnya seranya bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka ia telah berbuat syirik.” [12]

Jimat dari Al-Qur’an

Para sahabat, termasuk Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbaas, dan Hudzaifah Radhiyallaahu ‘anhum, semua menentang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat. Para Ulama dari kalangan tabi’in (murid dari para sahabat) ada yang mengizinkannya, namun sebagian besar tetap menolaknya. Namun, hadits yang meriwayatkan mengenai jimat tidak membedakan jimat yang ada tulisan Al-Qur’annnya ataupun tidak. Dan kita tidak mengetahui satu riwayatpun bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggunakan jimat yang tertulis ayat Al-Qur’an. Penggunaan jimat menggunakan ayat Al-Qur’an ini juga bertentangan dengan cara Rasulullah untuk menangkal sihir atau sesuatu yang buruk. Sunnahnya adalah membaca dua surat terakhir dari Al-Qur’an (Al-Falaq dan An-Nas, yang dikenal sebagai Muawidzatain) dan ayat kursi [13] ketika gangguan datang. Sehingga penggunaan Al-Qur’an sebagai penangkal gangguan hanya dapat dilakukan dengan pembacaannya dan juga pengamalannya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya kebaikan sepuluh kali lipat, aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, Mim satu huruf.” [14]

Menggunakan Al-Qur’an sebagai jimat sama saja seperti mengenakan resep dokter kepada orang yang sakit. Resep tersebut tidak dibaca untuk mendapatkan obat, namun justru digantungkan di badannya sebagai pembawa kesembuhan, dengan kepercayaan bahwa resep tersebut akan membawa kesembuhan.

Siapa saja yang percaya bahwa dengan mengenakan jimat Al-Qur’an maka akan membawa kebaikan dan menolak bala, maka sama saja dia menyifati Al-Qur’an sesuatu yang bisa membatalkan ketetapan Allah. Dan ini sama saja dengan kesyirikan dengan percaya kepada jimat. Sebagai buktinya, ada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Isa bin Hamzah:

Ketika aku mengunjungi Abdullah bin Ukaim dan menemukan bahwa Hamzah bersamanya. Aku bertanya, Abdullah, tidakkah kau menggunakan tamimah (jimat)? Dia menjawab “Semoga Allah melindungiku dari yang demikian! Tidakkah kau mengetahui bahwa Rasulullah mengatakan, “Siapa saja yang menggunakan kalung atau gelang, maka akan tergantung kepadanya”” [15]

Praktik-praktik yang umum dilakukan saat ini misalnya membuat Al-Qur’an menjadi sangat kecil sehingga bisa dijadikan kalung, ataupun penggantungan ayat kursi di dinding dengan harapan itu dapat menolak bala. Jika mereka menggunakannya hanya untuk ornamen, maka itu tidak dikategorikan sebagai syirik. Namun hampir semua yang melakukan hal tersebut, dimaksudkan untuk menolak keburukan, dan ini sama saja jatuh syirik dalam dasar-dasar tauhid.

Seorang muslim harus menghindari penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat seperti itu. Misal dengan menggantungkannya di kunci, mobil, kalung, gelang, itu sama saja dengan meniru kebiasaan orang kafir yang membawa-bawa jimatnya ke mana-mana. Dan itu sama saja pintu menuju kesyirikan. Sehingga kita harus terus memurnikan tauhid kita agar mengetahui bahayanya praktik semacam ini.

Catatan kaki:

  1. Secara bahasa, berarti kelemahan
  2. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Maajah, dan Ibnu Hibban
  3. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi
  4. Tempat perang besar terakhir antara Rasulullah dengan kafir Quraisy pada tahun 10 Hijriyah
  5. Secara bahasa, tempat menggantungkan sesuatu
  6. Maha suci Allah
  7. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi
  8. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim
  9. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
  10. Diriwayatkan oleh Ibnu Waki’
  11. HR. Abu Dawud -3883-, dan Ibnu Majah -3530) Hadits itu dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (331) dan (2972)
  12. HR. Ahmad dan dan dishahihkan oleh Imam Al Albani di dalam As Silsilah Ash Shahihah, no. 492
  13. Hadits riwayat Bukhori dari Abu Hurairah
  14. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi (3/2327)
  15. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Mas’ud, dishahihkan oleh Al-Arnauth dalam Syarh As-Sunnah

Tinggalkan komentar