3 Perjanjian Allah dan Adam

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 3.

Alam Barzakh

Islam tidak mengenal adanya reinkarnasi maupun perpindahan jiwa ke tubuh baru setelah adanya kematian seperti kepercayaan agama Hindu [1]. Orang-orang yang percaya dengan hal ini mengenal doktrin dan prinsip yang dikenal sebagai Karma [2], bahwa amal-amal yang dilakukan seseorang pada kehidupan tersebut akan menentukan status dari orang tersebut pada kehidupan setelahnya, setelah kembali terlahir. Jika amalannya buruk, maka dia akan lahir dari rahim seorang wanita dengan kasta sosial yang lebih rendah dan jika amalannya baik, maka dia akan lahir dari rahim seorang wanita dengan kasta sosial yang lebih tinggi, dan akan terus meningkat hingga dia berada di kasta Brahmana. Apabila tingkatannya telah sempurna, maka reinkarnasi akan berhenti dan jiwanya akan menyatu dengan jiwa dunia, Brahma, dalam sebuah proses yang dikenal sebagai Nirwana.

Menurut Islam, ketika seseorang meninggal di dunia maka dia tidak akan bangkit hingga datangnya Hari Kebangkitan. Setelah kehancuran dunia, seluruh manusia akan bangkit dari kematian untuk mendapat pengadilan dari Allah, satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah dan juga hakim terbaik dan teradil. Ketika manusia meninggal, sampai hari dia dibangkitkan, dia akan berada di dalam alam Barzakh [3]. Sehingga tidak aneh untuk berpikir bahwa seseorang yang telah meninggal ribuan tahun yang lalu telah menunggu ribuan tahun untuk dibangkitkan, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa kematian seseorang merupakan awal dari kebangkitannya. Waktu hanya tersedia bagi orang yang hidup di atas bumi. ketika seseorang meninggal, maka dia telah meninggalkan waktu dan ribuan tahun akan menjadi sekejap mata. Allah menggambarkan kenyataan ini dalam sebuah cerita yang disebutkan dalam Al-Baqarah tentang seseorang yang meragukan kemampuan Allah untuk membangkitkan sebuah negeri yang hancur, ataupun membangkitkan seseorang yang telah mati. maka Allah membuatnya mati selama ratusan tahun dan ketika dia dibangkitkan, dia ditanya berapa lama dia “tidur”, dan dia menjawab:

…يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ…

“…Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari…” (Al-Baqarah:259)

Begitu juga, seseorang yang terbangun dari keadaan koma yang panjang sering berpikir bahwa waktu berlalu dengan begitu cepat. Bahkan ketika kita tidur selama berjam-jam, ketika kita bangun, kita hanya merasakan bahwa kita baru saja memejamkan mata. Karena itu, kita tidak perlu membayangkan bagaimana masa penantian kita nanti di alam Barzakh, karena waktu sudah tidak relevan dengan kondisi itu.

Sebelum Penciptaan

Walaupun Islam menolak konsep bahwa jiwa akan terus lahir sebagaimana dalam konsep reinkarnasi, namun Islam mengakui bahwa jiwa setiap anak telah ada sebelum kelahirannya di bumi.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah telah mengambil perjanjian (kesaksian) dari punggung Adam di Na’man, yakni Arafah [4]. Lalu Dia mengeluarkan keturunannya dari tulang rusuknya, lalu menebarkan mereka di hadapan-Nya seperti benih. Kemudian Dia berkata kepada mereka secara langsung, (seraya berfirman): “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan), atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? [5]

Ini adalah penjelasan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap ayat:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ ﴿١٧٢﴾ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّن بَعْدِهِمْ ۖ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ ﴿١٧٣

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”” (Al-A’raf 172-173)

Ayat dan penjelasan ini menegaskan kenyataan bahwa tiap orang bertanggungjawab untuk beriman kepada Allah dan nantinya segala alasan tidak akan diterima pada hari akhir. Setiap manusia memiliki keimanan kepada Allah tertanam dalam jiwanya dan Allah menunjukkan pada para penyembah berhala itu bahwasanya berhala-berhala mereka bukanlah Allah. Sehingga, setiap manusia yang berakal harus beriman kepada Allah bahwa Allah di atas ciptaannya, dan tidak berada di dalam makhluk.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah kemudian meletakkan di antara dua mata setiap manusia secercah cahaya menunjukkan keimanan mereka, kemudian ditunjukkan kepada Adam. Adam kagum terhadap pemandangan cahaya-cahaya yang muncul di antara kedua mata mereka seraya berkata “Wahai Tuhanku, siapakah mereka?” Allah memberitahukan bahwa mereka adalah anak keturunan Adam. Kemudian Adam melihat lebih dekat kepada satu cahaya yang cahayanya membuat kagum, kemudian bertanya kepada Allah siapa dia, dan Allah menjawab: “Dia adalah seorang yang bernama Daud yang termasuk bangsa terakhir dari keturunanmu” Adam kemudian menanyakan berapa umurnya dan Allah menjawab bahwa umurnya enam puluh tahun. Adam kemudian berkata “Ya Tuhanku, tambahlah umurnya dengan mengambil empat puluh tahun dari umurku”. Namun ketika usia Adam telah mencapai akhirnya dan malaikat maut datang, dia berkata: “Bukankah seharusnya masih ada sisa empat puluh tahun?” Malaikat menjawab, “Bukankah engkau telah memberikannya kepada keturunanmu Daud?” Adam menyangkal bahwa dia telah melakukan hal tersebut, dan begitu pula para keturunannya juga melupakan janji-janji mereka kepada Allah. Adam nantinya juga melupakan perjanjiannya kepada Allah, dan nantinya para keturunannya juga akan jatuh pada kesalahan [6]

Adam memakan buah dari pohon terlarang karena melupakan janjinya kepada Allah dan dorongan tipu daya Setan, dan nantinya kebanyakan manusia telah melupakan tanggung jawabnya untuk beriman kepada Allah dan menyembah-Nya semata, dan jatuh kepada perbuatan menyembah para makhluk.

Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah kemudian menunjuk kepada sebagian dari para keturunan Adam dan mengatakan: “Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk masuk Surga, dan mereka akan melakukan amalan-amalan penghuni Surga” Kemudian Allah menunjuk kepada sisanya dan mengatakan: “Aku telah menciptakan orang-orang ini untuk masuk neraka dan mereka akan melakukan amalan-amalan para penghuni neraka”. Ketika Rasulullah menceritakan hal ini, salah seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kemudian apa gunanya bagi kami untuk melakukan amal kebaikan?” Rasulullah kemudian menjawab “Sesungguhnya, jika Allah menciptakan seseorang sebagai penghuni Surga, maka Dia akan membantunya untuk melaksanakan amalan penghuni Surga sampai dia mati dalam keadaan melaksanakan amalan tersebut, dan Allah akan memasukkannya ke Surga karena itu. Namun jika Allah menciptakan manusia yang ditujukan untuk mengisi Neraka, maka Allah akan membantunya untuk melaksanakan amalan-amalan penghuni neraka sampai dia mati dalam keadaan melaksanakan amalan tersebut, sehingga Allah memasukkannya ke dalam api neraka” [7]

Pernyataan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan atau pilihan di antara perbuatan baik dan buruk. Karena jika demikian, maka pahala dan dosa tidak akan ada artinya. Penciptaan Allah terhadap penghuni surga hanya berarti bahwa Allah mengetahui sepenuhnya sebelum penciptaan bahwa seseorang akan berada di antara golongan penghuni surga karena pilihan keimanannya dan penolakan keburukannya.

Jika seseorang beriman kepada Allah dengan tulus dan mencoba untuk beramal baik, maka Allah akan memberinya banyak kesempatan untuk meningkatkan keimanannya dan juga beramal baik. Allah tidak akan membiarkan keimanan yang tulus tersia-siakan walaupun seseorang tersebut tersesat ke jalan yang salah. Allah akan menolongnya untuk kembali ke jalan yang benar. Allah mungkin akan menghukumnya ketika hidupnya menyimpang dari jalan yang benar untuk mengingatkannya akan kesalahannya dan juga bertaubat. Allah yang maha penyayang akan mengambil nyawa seorang mukmin ketika dia sedang melaksanakan amal kebaikan sehingga dia akan termasuk ke dalam golongan para penghuni surga. Namun sebaliknya, jika seseorang menolak beriman kepada Allah dan menolak kebenaran, maka Allah akan memudahkannya untuk melaksanakan perbuatan buruk. Allah akan memberinya kesuksesan dunia setelah perbuatan buruknya sehingga dia akan semakin bersemangat untuk berbuat buruk dan dia akan masuk neraka karena perbuatan buruknya.

Kondisi Murni Manusia: Fitrah

Karena Allah telah membuat seluruh umat manusia bersaksi kepada Allah saat Dia menciptakan Adam, perjanjian ini terukir dalam jiwa manusia sejak sebelum masuk ke dalam janin pada bulan kelima kehamilan. Karena itu, ketika seorang bayi lahir, kondisi awalnya adalah beriman kepada Allah. Kondisi alamiah ini disebut dengan fitrah[8] dalam Bahasa Arab. Jika bayi itu dibiarkan sendiri, maka dia akan tumbuh dalam kondisi tauhid kepada Allah. Namun setiap anak dipengaruhi oleh pengaruh dan tekanan dari lingkungannya secara langsung maupun tidak.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Allah berfirman:

Aku menciptakan hamba-hambaku dalam agama yang benar, namun para setan kemudian menyesatkan mereka [9]

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)? [10]

Sehingga ketika raga seorang anak mengikuti hukum alam yang ditetapkan oleh Allah, jiwa anak tersebut juga mengikuti fitrah yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Namun, orang tua merekalah yang kemudian membuat anak tersebut mengikuti pemahaman mereka, dan seorang anak belum cukup kuat (di masa awal hidupnya) untuk melawan orang tua mereka. Pada fase tersebut, Allah tidak akan menghukum anak tersebut karena agama yang mereka ikuti dari orang tua mereka. Namun, ketika anak tersebut telah menjadi dewasa dan telah jelas bukti-bukti di hadapan mereka, maka seorang anak harus memilih agama berdasarkan pengetahuan dan juga alasan [11]. Pada fase ini, setan akan berusaha sekuat tenaga mereka untuk membuat mereka tetap pada agama yang didapat dari orang tua mereka. Dosa dijadikan menyenangkan untuk mereka sehingga dia harus berjuang untuk mempertahankan fitrah yang telah ada pada dirinya. Jika dia memilih fitrah, maka Allah akan menolongnya untuk mengatasi hawa nafsunya, walaupun memerlukan waktu sampai hampir seluruh masa hidupnya. Banyak orang-orang yang masuk Islam pada usia senja mereka, walau ada juga yang masuk Islam pada usia-usia muda.

Karena ada begitu banyak perlawanan terhadap fitrah manusia, Allah memilih beberapa manusia terpilih dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dalam hidup. Manusia-manusia terpilih tersebut, yang kita kenal sebagai para Rasul, diutus untuk membantu fitrah kita mengalahkan para musuhnya. Segala kebenaran dan amalan baik yang ada di muka bumi saat ini berasal dari ajaran mereka.

Sehingga telah menjadi tugas seorang manusia untuk mengikuti jalan para Rasul karena itulah satu-satunya jalan untuk hidup secara benar. Kita harus melakukan segala sesuatu bukan hanya karena mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua kita, namun harus berdasarkan pengetahuan bahwa yang kita lakukan itu benar atau salah. Jika kita tidak mengikuti kebenaran, bisa jadi kita akan menjadi seperti yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّـهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”” (Al-Baqarah 170)

Allah melarang kita untuk mengikuti perintah orang tua kita apabila perintah tersebut berlawanan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah telah berfirman:

…وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. …” (Al-Ankabut: 8)

Terlahir sebagai Muslim

Bagi semua orang yang beruntung terlahir di dalam keluarga muslim harus waspada karena muslim semacam itu tidak langsung dijamin sebagai penghuni surga, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa sebagian besar muslim akan mengikuti jejak kaum yahudi dan nasrani walaupun mereka masuk ke dalam lubang biawak, mereka akan mengikutinya [12]. Beliau juga mengatakan bahwa sebagian muslim nantinya akan menyembah para berhala [13]. Orang-orang tersebut akan memiliki nama muslim dan mengaku sebagai muslim, namun pengakuan tersebut tidak akan bermanfaat pada hari akhir. Saat ini, ada begitu banyak muslim di seluruh dunia berdoa pada orang yang telah mati, membangun masjid di atas makam, bahkan melaksanakan ritual di sekitar masjid tersebut. Bahkan ada juga orang yang mengaku sebagai muslim namun menyembah Ali bin Abi Thalib sebagai Allah [14]. Sebagian dari mereka ada yang membuat Al-Qur’an menjadi jimat dan mengalungkannya di leher mereka, atau dijadikan gantungan kunci dan sebagainya. Sehingga siapapun yang terlahir sebagai seorang muslim dan hanya mengikuti orang tua mereka tanpa ilmu, lalu bagaimanakah keislaman mereka? Apakah Islam itu agama yang dilakukan oleh orang tua mereka, ataukah agama yang diturunkan kepada para Rasul Allah?

Perjanjian

Perjanjian yang telah dilakukan oleh setiap manusia kepada Allah sebelum penciptaan bahwa mereka hanya akan mengakui Allah sebagai sesembahan yang benar untuk disembah, dan tidak akan menyekutukan-Nya dengan apapun. Inilah inti dari syahadat (pengakuan akan keimanan) yang harus dilakukan oleh setiap muslim, Laa ilaaha illallaah (tidak ada sesembahan yang haq untuk disembah selain Allah) yang juga dikenal sebagai Kalimah at-Tauhid, kalimat pengesaan Allah. Persaksian tersebut hanyalah konfirmasi dan deklarasi pada fase spiritual. Namun bagaimanakah perjanjian tersebut dapat dipenuhi?

Perjanjian tersebut dapat dipenuhi dengan cara beriman kepada Tauhid secara tulus dan melaksanakannya dalam setiap sendi kehidupan. Tauhid dilaksanakan dengan menghindari segala macam aksi syirik (menyekutukan Allah) dan dengan mengikuti segala apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karena seorang muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang memiliki nilai kebaikan hanyalah segala yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab terkadang suatu amalan terlihat baik, padahal tidak. Sebagai contoh, jika seorang miskin ingin meminta sesuatu kepada raja, maka akan lebih baik jika orang tersebut meminta kepada raja melalui pangeran, karena pangeran tersebut lebih dekat kepada raja. Sehingga mereka berdalih bahwa untuk meminta sesuatu kepada Allah, mereka harus memintanya melalui perantara para wali karena mereka merasa kotor akan dosa yang mereka lakukan setiap hari. Hal ini mungkin terlihat logis, namun Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk langsung berdoa kepada Allah tanpa perantara:

…وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu….”” (Ghafir: 60)

Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

Jika engkau berdoa, berdoalah kepada Allah dan jika engkau memohon bantuan, mohonlah kepada Allah [15]

Dan sebaliknya pula, suatu amalan bisa jadi terlihat buruk, padahal itu sesungguhnya amalan baik. Sebagai contoh, dalam hukum Islam, jika seseorang terbukti mencuri maka hukumannya adalah pemotongan tangan. Dan hal ini seolah terlihat barbar dan melanggar hak asaasi manusia. Namun inilah yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga hal itu pasti mengandung kebaikan untuk diri mereka sendiri. Sehingga, perjanjian kepada Allah hanya dapat dipenuhi oleh seorang muslim dengan pilihan, bukan hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua mereka, karena pelaksanaan perjanjian ini adalah inti dari ajaran Islam itu sendiri. Fitrah manusia adalah dasar dari Islam, sehingga jika seseorang melaksanakan Islam secara utuh baik dengan amalan fisik maupun amalan hati, maka kehidupannya akan seimbang dan baik di dunia dan akhirat. Hanya orang melaksanakan tauhid sepenuhnyalah yang dapat menguasai bumi dengan keadilan yang benar.

Catatan kaki:

  1. Kepercayaan ini dianut oleh sebagian sekte dari Syiah Isma’iliyah seperti Nusairiyah yang ada di Syria.
  2. Karma secara umum berarti aksi, pekerjaan, atau amalan. Secara istilah dikenal sebagai efek dari suatu aksi, atau efek total dari tindakan yang telah lalu.
  3. Allah Berfirman: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun:99-100)
  4. Tanggal 9 bulan Dzulhijjah
  5. (Al-A’raf 172-173) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Ibnu Abbas. Lihat Silsilah Hadits As-Shahihah, volum 4, hadits nomor 1623.
  6. Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi melalui Abu Hurairah. Lihat catatan kaki nomor 221 dari al-Aqidah at-Thahawiyah yang ditahqiq Syaikh Al-Albani.
  7. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi melalui Umar bin Khattab. Lihat catatan kaki nomor 220 dari al-Aqidah at-Thahawiyah yang ditahqiq Syaikh Al-Albani.
  8. Lihat Al-Aqidah at-Thahawiyah
  9. Diriwayatkan oleh Muslim, Volum 4 Hadits nomor 6853
  10. Diriwayatkan oleh Muslim (4/6423) dan Bukhori (8/597)
  11. Lihat Al-Aqidah at-Thahawiyah
  12. Diriwayatkan oleh Bukhari (9/422) dan Muslim (1/6448) dari Abu Sa’id al-Khudri
  13. Diriwayatkan oleh Bukhari (9/232) dan Muslim (4/6944) dari Abu Hurairah
  14. Nusairiyah di Syria
  15. Lihat hadits Arbain an-Nawawi

1 thoughts on “3 Perjanjian Allah dan Adam

Tinggalkan komentar