1. Kategori Tauhid

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 1.

Secara bahasa, tauhid berarti “menyatukan” (membuat sesuatu menjadi satu) atau “menegaskan keesaan”, dan berasal dari kata Bahasa Arab wahhada yang berarti bersatu, menyatukan, atau menggabungkan [1]. Namun, ketika kata tauhid digunakan untuk ditujukan kepada Allah (contohnya tauhidullaah[2]), maka itu berarti menyadari dan menjaga keesaan Allah dalam setiap kehidupan dan perilaku manusia baik yang ditujukan secara langsung maupun tidak langsung kepada Allah. Ini adalah keyakinan bahwa Allah itu hanya ada esa tanpa sekutu dalam kekuasaan-Nya (Rububiyah), esa tanpa keserupaan dalam nama dan sifat (Asma wa Sifat), dan esa tanpa sekutu dalam ketuhanan dan penyembahan (Uluhiyah/Ibadah). Tiga aspek tersebut membentuk dasar dari kategori-kategori dimana tauhid dibagi. Ketiga kategori tersebut saling meliputi dan tidak dapat dipisahkan sehingga jika seseorang tidak melaksanakan salah satu dari ketiganya, maka dia telah gagal memenuhi persyaratan dari tauhid. Pelanggaran dari satu saja kategori tauhid tersebut disebut sebagai syirik (secara bahasa, berbagi), mempersekutukan Allah. Dalam istilah Islam, disebut juga sebagai kemusyrikan.

Tiga kategori tauhid tersebut biasanya disebutkan sebagai berikut:

  1. Tauhid Rububiyah (secara bahasa, meyakini keesaan dari kekuasaan Allah) adalah meyakini bahwa Allah itu esa, tanpa sekutu dalam kekuasaan-Nya.
  2. Tauhid Asma wa Sifat (secara bahasa, meyakini keesaan nama dan sifat Allah) adalah meyakini bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah esa dan tidak bisa disamakan dengan nama dan sifat apapun.
  3. Tauhid Ibadah (secara bahasa, meyakini keesaan Allah dalam penyembahan) adalah meyakini bahwa Allah itu esa dan bersendirian dalam hak untuk disembah [3].

Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam atau pun para sahabat, karena tidak ada keperluan untuk menjabarkan prinsip dasar dari keyakinan pada masa itu. Namun, fondasi dari komponen ketiga kategori tersebut tersirat dalam ayat-ayat Al Qur’an, penjelasan dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan juga penjelasan dari para sahabat (semoga Allah ridho kepada mereka semua), dan menjadi dalil kepada pembaca di mana ketiga kategori tersebut akan dibahas secara lebih detil nanti.

Kebutuhan akan pendekatan analisis terhadap penjabaran analisis dari tauhid muncul saat Islam menyebar ke Mesir, Byzantium, Persia, dan India [4] dan menyerap kebudayaan dari daerah tersebut. Hal ini memang alamiah, di mana ketika orang-orang dari daerah tersebut menerima Islam, mereka tetap akan membawa sebagian peninggalan dan budaya dari kepercayaan sebelumnya. Namun ketika para penganut Islam baru tersebut mulai mengekspresikan bermacam filsafat dalam konsep ketuhanan ke dalam tulisan maupun diskusi, kebingungan mulai muncul dan kemurnian dari keyakinan Islam mulai terancam. Bahkan ada juga orang-orang yang dari luar tampak menerima ajaran Islam, namun secara diam-diam menghancurkan kemurnian Islam dari dalam, karena tidak mampu memerangi Islam secara langsung karena saat itu kekuatan militer Islam sangat kuat. Kelompok tersebut mulai secara aktif menyebarkan pemahaman yang menyimpang mengenai Allah dengan tujuan menghancurkan pilar dari iman dalam Islam.

Jika kita melihat catatan sejarah Islam, muslim pertama yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan hidup secara bebas tanpa terikat takdir (qadar) adalah seorang Iraq yang masuk Islam dari Agama Kristen bernama Sausan. Sausan ini nantinya kembali lagi ke ajaran Kristen setelah mengajarkan pemahaman ini kepada muridnya, Ma’bad bin Khalid al-Juhani dari Basrah. Ma’bad kemudian menyebarkan ajaran ini sampai dia ditangkap dan dieksekusi oleh Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (685-705), pada tahun 700 [5]. Sahabat yang masih hidup pada masa itu, seperti Abdullah bin Umar (meninggal tahun 694) dan Abdullah bin Abi Aufa (meninggal tahun 705), menyerukan manusia untuk tidak bertegur sapa dengan muslim yang menolak adanya takdir dan tidak menyolatkan mereka saat mereka meninggal. Hal ini karena mereka sudah dianggap kafir [6]. Namun, pemikiran filosifis kristen di mana takdir tidak ada terus mendapatkan pendukung. Ghailaan bin Muslim dari Damaskus yang belajar di bawah Ma’bad juga terus menyebarkan pemahaman ini sampai dia di bawa kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia menarik kembali seluruh pendapatnya secara publik. Namun setelah kematian Khalifah Umar, dia kembali menyebarkan pemahaman tersebut. Khalifah berikutnya, Hisham bin Abdul Malik (724-743), menangkapnya dan menghukumnya mati [7].

Tokoh lain yang juga menyebarkan pemahaman serupa adalah al Ja’d bin Dirham, yang tidak hanya mengingkari takdir, namun juga menerjemahkan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an mengenai sifat Allah berdasarkan filsafat Neo-Platonic. Dan saat itu Al-Ja’d adalah salah satu guru dari pangeran Bani Umayyah, Marwan bin Muhammad, yang nantinya akan menjadi Khalifah ke-14 (744-750). Dalam kuliahnya di Damaskus, dia secara terang-terangan menolah sebagian sifat Allah seperti melihat dan mendengar, sampai gubernur dari Bani Umayyah mengusirnya dari kota [8]. Dia kemudian lari ke Kufah (Iraq), dan terus mengajarkan pemahamannya tersebut. Di sana dia terus mendapatkan pengikut dan pemahamannya menjadi semakin populer. Sampai akhirnya gubernur dari Bani Umayyah, Khalid bin Abdullah, menghukum mati Al-Ja’d pada tahun 736. Namun, murid utama Al-Ja’d, Jahm bin Safwaan, meneruskan penyebaran pemahaman tersebut ke Tirmidh dan Balakh, sampai akhirnya dieksekusi mati oleh gubernur Bani Umayyah, Nasr bin Sayyar pada tahun 743 [9].

Para Khalifah dan Gubernur pada masa awal Islam sangat teguh memegang prinsip dasar Islam, dan kesadaran masyarakat juga lebih tinggi karena masih adanya para sahabat dan juga murid mereka. Karena itu, pemikiran yang sesat bisa mendapatkan penanganan langsung secara cepat dari penguasa. Namun para Khalifah Bani Umayyah di akhir kekuasaan mereka menjadi rusak dan tidak peduli terhadap isu agama. Kesadaran masyarakat mengenai Islam juga semakin berkurang, sehingga mereka menjadi lebih rawan dimasuki pemahaman yang sesat.

Jumlah orang yang mulai memeluk Islam menjadi terus meningkat, seiring dengan ajaran asal dari nenek moyang mereka yang juga ikut terserap, maka hukuman mati oleh penguasa bagi orang yang mengajarkan ajaran sesat mulai ditiadakan. Tugas untuk memerangi pemikiran sesat tersebut akhirnya dilaksanakan oleh para Ulama yang menantang untuk melaksanakan debat pemikiran terhadap orang-orang yang menyampaikan ajaran menyimpang tersebut. Secara sistematis, para ulama membantah pemikiran-pemikiran filsafat yang menyimpang tersebut menggunakan Al-Quran dan Sunnah. Dalam proses pembantahan inilah mulai muncul cabang ilmu yang membahas mengenai tauhid, termasuk pembagiannya menjadi kategori yang telah disebutkan di atas. Dan pada masa ini pula, cabang-cabang ilmu Islam yang lain juga mulai berkembang. Sehingga, kategori-kategori dari tauhid dibahas secara terpisah, khusus, dan mendalam sehingga dapat dipahami secara keseluruhan sebagai dasar Islam.

Penjelasan mengenai kategori-kategori Tauhid akan dijelaskan dalam artikel setelah ini.

Catatan kaki:

  1. J.M. Cowan, The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, (Spoken Language Services Inc., New York, 3rd. ed., 1976), p. 1055.
  2. Kata tauhid tidak muncul baik di dalam Al Qur’an maupun hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam. Namun, ketika Rasullah mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman pada tahun 9 Hijriyah, beliau mengatakan “Engkau akan mendatangi Kaum Nasrani dan Yahudi (ahli kitab), maka hal pertama yang harus engkau sampaikan adalah menyeru kepada keesaan Allah (Yuwahhidullaah).” Disampaikan oleh Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Bukhari, Muhammad Mushin Khan (Arabic-Eng), Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadeetha, 1981, vol 9, hal 348-9, hadits no. 469 dan Muslim, Abdul Hamid Siddeeqi, Sahih Muslim (Terjemahan Bahasa Inggris), Lahore: Sh. Muhammad Ashraf Publishers, 1987, vol. 1, hal 14-5, hadits no. 27. Hadits ini menunjukkan penggunaan kata kerja di mana kata benda tauhid diturunkan dan digunakan oleh Rasulullah.
  3. Ibnu Abil-Izz al-Hanafi, Syarah al-Aqidah at-Tahawiyah, halaman 78.
  4. Asia Selatan, seperti Pakistan, India, dan Bangladesh.
  5. Ibnu Hajar, Tahdhib at-Tahdhib, (Hyderabad, 1325-7), vol. 10, hal. 225.
  6. Abdul Qahir bin Tahir al Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, (Beirut: Daar al Ma’rifah), hal. 19-20.
  7. Muhammad bin Abdul Kariim ash-Shahrastaani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Daar al Ma’rifah, edisi kedua, 1975), vol. 1, hal. 30.
  8. Ahmad bin Hambal, ar-Radd alaa al-Jahmiyah, (Riyadh: Daar al-Liwaa, edisi pertama, 1977), halaman 41-3.
  9. Muhammad bin Abdul Kariim ash-Shahrastaani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut: Daar al Ma’rifah, edisi kedua, 1975), vol. 1, hal. 46.

Tinggalkan komentar