Arsip Tag: Bilal Philips

5 Ramalan

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 5.

Seperti yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, di antara umat manusia, ada yang mengaku memiliki pengetahuan mengenai hal yang ghaib dan tentang masa depan. Orang-orang seperti itu dikenal sebagai peramal, cenayang, penyihir, indigo, astrolog, dan lain sebagainya. Peramal menggunakan berbagai macam cara dan media yang mereka klaim sebagai cara untuk mengetahui informasi-informasi tersebut. Misalnya, membaca garis tangan, melihat horoskop (bintang kelahiran), melihat bola kristal, melempar tongkat, dan lain sebagainya. Pembahasan kali ini akan berfokus pada berbagai macam cara meramal, di luar sihir, karena pembahasan mengenai sihir akan datang pada pembahasan selanjutnya.

Secara umum, peramal yang mengklaim bahwa mereka bisa melihat masa depan ataupun sesuatu yang ghoib, dapat dibagi menjadi dua praktik:

  1. Kelompok pertama adalah orang-orang yang sebetulnya tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hal yang ghoib maupun masa depan, namun mereka “meramal” dengan cara melihat kejadian umum yang terjadi di masyarakat. Dengan melakukan ritual-ritual yang sebetulnya tidak bermakna, mereka menyampaikan tebakan-tebakan umum. Biasanya orang akan cenderung mengingat beberapa tebakan yang benar, dan cenderung melupakan tebakan lainnya yang salah. Tebakan-tebakan itu digunakan hanya untuk mengingat kembali kenangan yang telah dialami oleh klien, yang biasanya umum terjadi pada setiap orang. Di Amerika Utara, sudah menjadi kebiasaan untuk mempublikasikan ramalan di antara para peramal-peramal terkenal di awal tahun. Namun ketika diperiksa kembali, yang paling akurat dari mereka sekalipun, hanya 24 persen dari ramalan mereka yang tepat sasaran.  Baca lebih lanjut

4b Jimat dan Pertanda (2)

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 4.

Percaya akan Pertanda Buruk

Masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, sering memperhatikan bagaimana arah pergerakan burung atau binatang sebagai pertanda nasib baik maupun nasib buruk, sehingga mereka dapat merencanakan segala sesuatunya setelah melihat pertanda tersebut. Praktik menentukan pertanda baik maupun buruk berdasarkan pergerakan burung ataupun binatang disebut sebagai thiyarah yang berasal dari kata thaara yang berarti “terbang”. Sebagai contoh, ketika seseorang hendak melakukan perjalanan jauh dan seekor burung terbang di atasnya kemudian berbelok ke kiri. Seseorang tersebut langsung merasa bahwa dia akan mendapat nasib buruk, sehingga dia akan berhenti dan kembali ke rumah. Islam menentang praktik semacam ini karena bertentangan dengan dasar Tauhid al-Ibadah dan Tauhid Asma’ dan Sifat dengan:

  1. Dengan mengarahkan peribadahan, yaitu “keyakinan” (tawakkul) kepada yang selain Allah
  2. Dengan memberikan manusia kemampuan untuk memprediksi datangnya nasib baik maupun nasib buruk, dan kemampuan untuk menghindari takdir Allah. Baca lebih lanjut

4a Jimat dan Pertanda (1)

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 4.

Tauhid Rububiyah telah didefiniskan sebagai pengakuan bahwa Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta di dalam segala interaksi antara makhluk dengan Allah. Penciptaan, pemeliharaan, dan bahkan penghancuran dari alam semesta berada di dalam perintah Allah, dan semua nasib baik dan juga nasib buruk juga terjadi karena kehendak Allah. Namun, manusia sejak zaman dahulu sampai sekarang terus bertanya: “Apakah ada cara untuk mengetahui nasib baik dan nasib buruk sebelum tiba waktunya?”. Sebab jika hal tersebut sudah diketahui sebelumnya, maka nasib buruk bisa dihindari atau kesuksesan seseorang juga dapat terjamin. Sejak zaman purbakala, beberapa orang tertentu telah melakukan klaim-klaim palsu bahwa mereka mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Dan sejak zaman dahulu pula, orang-orang semacam itu memiliki pelanggan yang bersedia membayar sedemikian banyak untuk mendapatkan informasi tentang masa depan. Dan metode-metode untuk mengubah nasib buruk menjadi nasib baik pun telah lama dikenal, yang akhirnya membentuk jimat-jimat yang dapat kita temui di seluruh dunia di seluruh zaman. Selain itu bentuk-bentuk peramalan akan masa depan juga telah menjadi praktik umum, sehingga banyak yang mencoba menghindari kesialan dengan cara tersebut. Dan mereka selalu memberikan klaim bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipelajari dan hanya diwariskan turun temurun dalam bentuk ilmu ramalan maupun sihir.  Baca lebih lanjut

3 Perjanjian Allah dan Adam

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 3.

Alam Barzakh

Islam tidak mengenal adanya reinkarnasi maupun perpindahan jiwa ke tubuh baru setelah adanya kematian seperti kepercayaan agama Hindu [1]. Orang-orang yang percaya dengan hal ini mengenal doktrin dan prinsip yang dikenal sebagai Karma [2], bahwa amal-amal yang dilakukan seseorang pada kehidupan tersebut akan menentukan status dari orang tersebut pada kehidupan setelahnya, setelah kembali terlahir. Jika amalannya buruk, maka dia akan lahir dari rahim seorang wanita dengan kasta sosial yang lebih rendah dan jika amalannya baik, maka dia akan lahir dari rahim seorang wanita dengan kasta sosial yang lebih tinggi, dan akan terus meningkat hingga dia berada di kasta Brahmana. Apabila tingkatannya telah sempurna, maka reinkarnasi akan berhenti dan jiwanya akan menyatu dengan jiwa dunia, Brahma, dalam sebuah proses yang dikenal sebagai Nirwana.

Menurut Islam, ketika seseorang meninggal di dunia maka dia tidak akan bangkit hingga datangnya Hari Kebangkitan. Setelah kehancuran dunia, seluruh manusia akan bangkit dari kematian untuk mendapat pengadilan dari Allah, satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah dan juga hakim terbaik dan teradil. Ketika manusia meninggal, sampai hari dia dibangkitkan, dia akan berada di dalam alam Barzakh [3]. Sehingga tidak aneh untuk berpikir bahwa seseorang yang telah meninggal ribuan tahun yang lalu telah menunggu ribuan tahun untuk dibangkitkan, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa kematian seseorang merupakan awal dari kebangkitannya. Waktu hanya tersedia bagi orang yang hidup di atas bumi. ketika seseorang meninggal, maka dia telah meninggalkan waktu dan ribuan tahun akan menjadi sekejap mata. Allah menggambarkan kenyataan ini dalam sebuah cerita yang disebutkan dalam Al-Baqarah tentang seseorang yang meragukan kemampuan Allah untuk membangkitkan sebuah negeri yang hancur, ataupun membangkitkan seseorang yang telah mati. maka Allah membuatnya mati selama ratusan tahun dan ketika dia dibangkitkan, dia ditanya berapa lama dia “tidur”, dan dia menjawab: Baca lebih lanjut

2b Kategori Syirik (2)

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 2.

Syirik dalam Al-Asma’ dan Sifat

Syirik dalam kategori ini termasuk praktek yang umum dilakukan oleh para penyembah berhala dengan cara memberikan Allah nama dan sifat makhluk, ataupun juga sebaliknya, memberikan makhluk nama dan sifat Allah.

1. Syirik dengan Menyerupakan Allah dengan Makhluk

Dalam kelompok syirik ini, Allah diserupakan dengan makhluk (biasanya manusia ataupun hewan) dalam bentuk dan kemampuan. Namun karena manusia dianggap lebih superior dibandingkan hewan, bentuk manusia lebih umum digunakan dalam penyerupaan Allah terhadap makhluk. Sebagai konsekuensinya, gambaran dari Sang Pencipta sering digambarkan ataupun dipahat dalam bentuk kelompok manusia penyembahnya. Contohnya, kaum Hindu dan Budha menyembah para berhala yang berbentuk manusia berkebangsaan Asia dan menganggapnya sebagai perwujudan dari Tuhan mereka. Kaum Nasrani masa kini juga percaya bahwa Nabi Isa adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia, dan ini juga merupakan salah satu contoh dari syirik. Ada begitu banyak pelukis dari kaum Nashrani seperti Michaelangelo (meninggal 1565), yang menggambarkan Tuhan sebagai seorang tua berkebangsaan Eropa dengan rambut dan jenggot putih yang dilukis di Sistine Chapel di Vatikan. Gambar ini dijadikan sebuah panutan tertinggi mengenai gambaran Tuhan  oleh kaum Nashrani.  Baca lebih lanjut

1c Tauhid al-Ibadah (Tauhid Uluhiyah)

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 1.

Walaupun kedua kategori tauhid yang telah disebutkan sebelumnya memiliki dampak yang besar, namun beriman pada kedua kategori tersebut saja tidak cukup untuk memenuhi persyaratan tauhid dalam Islam. Tauhid ar-Rububiyah dan Tauhid Asma’ dan Sifat harus dilengkapi dengan Tauhid al-Ibadah (yang juga dikenal sebagai Tauhid Uluhiyah), supaya tauhid seorang muslim menjadi lengkap. Allah Subhaanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak mengakui aspek-aspek yang ada dalam kedua kategori tauhid yang telah disebutkan sebelumnya. Allah memerintahkan Rasulullah untuk berkata pada para penyembah berhala:

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّـهُ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.”…” (Yunus 31)

…وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّـهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab “Allah”… ” (Az-Zukhruf 87)

…لَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّـهُ

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”…” (Al-Ankabut 63) Baca lebih lanjut

1b Tauhid Asma’ dan Sifat

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 1.

Kategori Tauhid ini memiliki 5 aspek utama:

Pertama, nama dan sifat Allah harus dijelaskan sesuai dengan apa yang telah dideskripsikan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa memalingkan maknanya dari makna yang jelas dari nama dan sifat tersebut dalam Bahasa Arab. Sebagai contoh, Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah murka kepada orang-orang kafir dan munafik:

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّـهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ ۖ وَغَضِبَ اللَّـهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan Allah Azza wa Jalla mengadzab kaum munafik laki-laki dan perempuan, juga kaum musyrik laki-laki dan perempuan karena mereka berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla . Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Allah Azza wa Jalla memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali” (Al-Fath 6) Baca lebih lanjut

1a Tauhid ar-Rububiyah

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 1.

Kategori ini berdasarkan konsep fundamenal bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala bersendirian dalam menciptakan segala sesuatu dari kondisi nihil. Dia menjaga dan memelihara ciptaannya tanpa memerlukan segala sesuatupun dari ciptaannya; Dialah satu-satunya penguasa seluruh semesta alam dan isinya tanpa ada sesuatupun yang bisa menggugat kekuasaannya. Istilah dalam Bahasa Arab untuk menjelaskan sifat mencipta dan menjaga ini disebut Rububiyah yang berasal dari kata Rabb (Tuhan). Berdasarkan kategori ini, Allah adalah satu-satunya kekuatan yang ada, dan Dia juga yang memberikan segala sesuatu kekuatan untuk bergerak dan berubah. Tidak ada penciptaan kecuali yang Dia izinkan untuk terjadi. Untuk pengakuan akan hal ini, Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam sering mengucapkan kalimat penetapan: “Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” (Tidak ada daya dan upaya kecuali berdasarkan kehendak Allah). Baca lebih lanjut

1. Kategori Tauhid

Saduran ini bersumber dari The Fundamentals of Tawheed karangan Dr. Bilal Philips, bab 1.

Secara bahasa, tauhid berarti “menyatukan” (membuat sesuatu menjadi satu) atau “menegaskan keesaan”, dan berasal dari kata Bahasa Arab wahhada yang berarti bersatu, menyatukan, atau menggabungkan [1]. Namun, ketika kata tauhid digunakan untuk ditujukan kepada Allah (contohnya tauhidullaah[2]), maka itu berarti menyadari dan menjaga keesaan Allah dalam setiap kehidupan dan perilaku manusia baik yang ditujukan secara langsung maupun tidak langsung kepada Allah. Ini adalah keyakinan bahwa Allah itu hanya ada esa tanpa sekutu dalam kekuasaan-Nya (Rububiyah), esa tanpa keserupaan dalam nama dan sifat (Asma wa Sifat), dan esa tanpa sekutu dalam ketuhanan dan penyembahan (Uluhiyah/Ibadah). Tiga aspek tersebut membentuk dasar dari kategori-kategori dimana tauhid dibagi. Ketiga kategori tersebut saling meliputi dan tidak dapat dipisahkan sehingga jika seseorang tidak melaksanakan salah satu dari ketiganya, maka dia telah gagal memenuhi persyaratan dari tauhid. Pelanggaran dari satu saja kategori tauhid tersebut disebut sebagai syirik (secara bahasa, berbagi), mempersekutukan Allah. Dalam istilah Islam, disebut juga sebagai kemusyrikan.

Tiga kategori tauhid tersebut biasanya disebutkan sebagai berikut:

  1. Tauhid Rububiyah (secara bahasa, meyakini keesaan dari kekuasaan Allah) adalah meyakini bahwa Allah itu esa, tanpa sekutu dalam kekuasaan-Nya.
  2. Tauhid Asma wa Sifat (secara bahasa, meyakini keesaan nama dan sifat Allah) adalah meyakini bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah esa dan tidak bisa disamakan dengan nama dan sifat apapun.
  3. Tauhid Ibadah (secara bahasa, meyakini keesaan Allah dalam penyembahan) adalah meyakini bahwa Allah itu esa dan bersendirian dalam hak untuk disembah [3]. Baca lebih lanjut

Kuliah di Islamic Online University

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala,  yang telah memberikan kepada kita nikmat berupa Islam sebagai jalan  hidup yang sempurna sebagai tuntunan hidup seluruh umat manusia. Hidayah hanyalah milik Allah Subhaanahu Wa Ta’ala semata. Dan ada begitu banyak cara bagi seseorang yang diberikan nikmat yang sangat mahal ini. Dari cara yang wajar (dididik sejak kanak-kanak dengan baik) sampai dengan cara yang mungkin terlihat tidak wajar.

Alhamdulillah, saya juga mendapatkan kesempatan untuk menikmati hidayah ini dengan izin Allah. Dengan cara yang barangkali unik juga, karena hidayah tersebut menyapa di tengah tugas studi di negeri kafir. Dan segala hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk hijrah ke manhaj yang haq ini justru membuat semuanya bertambah manis.

Qadarullah, karena kondisi di keluarga, saya belum bisa langsung menimba ilmu dari majelis-majelis ilmu. Padahal sebaik-baik cara untuk menuntut ilmu adalah hadir langsung di majelis ilmu. Keutamaannya sangat besar dan para malaikat pun menaunginya. Namun sekali lagi, tidak -atau belum- semua orang memiliki kesempatan tersebut, termasuk juga saya saat ini. Alhamdulillah, Allah memberikan salah satu jalan, yaitu dengan cara kuliah agama secara online.
Baca lebih lanjut